Kamis, 24 Juni 2010

LANJUTAN CERITA

Kelanjutan dari Cerita ini untuk seterusnya akan diposting di www.rangkaiankata2.wordpress.com
untuk para pembaca setia cerita ini silahkan klik di alamat blog diatas.
trmksh. maria ulfa

Selasa, 22 Juni 2010

Part 6

GOOD DAYS OR BAD DAYS ?!

Hari – hari setelah hari itu adalah hari terindah dalam hidup Shin (menurut Shin waktu itu lho..!). Shin dan Reina resmi yang namanya jadian alias pacaran (dasar ABG!). Reina memberikan warna indah dalam hari – harinya (kayak krayon aja ya?). Kebosanan Shin hilang. Ke kafe, ke pesta, atau sekedar jalan – jalan tak lagi membuat Shin canggung, walaupun harus pergi tanpa Indra sekalipun. Shin tak dipeduli orang tuanya cuek atau gimana, asalkan ada Reina, Reina, Reina, dan Reina. Dunia milik berdua, yang lain ngontrak! Itu adalah istilah Indra kalau meledek Shin kalau sedang bersama Reina.
“Mau dicariin, Ndra?” begitu biasanya Shin membalas ledekan Indra. Bukan hanya itu, Pernah beberapa kali ketika pesta ulang tahun Indra yang ke tujuh belas, Reina sengaja mengajak teman – teman se-ganknya ke pesta itu dan mengenalkan beberapa diantaranya kepada Indra. Tapi, mau tahu jawaban Indra?
“Udahlah Rei, ntar kalau gw pilih satu ntar yang lain pada cemburu lagi… mendingan nggak usah milih..”
“Serius?” Shin dan Reina menyahuti kompak.
“Iya, ngapain gw milih – milih, yaa.. maksud gw.. mendingan semuanya aja sekalian. He…he…” Indra meninggalkan Shin dan Reina yang sudah siap – siap dengan jitakan mautnya. Dasar playboy cap gayung!!
Playboy? Shin pikir nggak juga. Indra memang dikelilingi cewek – cewek cantik yang selalu mengejarnya. Setiap Valentine atau acara lainnya kamarnya selalu banjir hadiah coklat atau kartu ucapan, undangan, yang seringkali Shin yang disuruh untuk menyingkirkannya. He…he… . Tapi walaupun begitu, “Betsu-ni kawannai - nggak ada yang Istimewa”. Selalu begitu jawabnya setiap kali Shin bertanya siapa diantara pengirim itu yang dia sukai. Dan lagi kalaupun jalan bareng cewek, ceweknya yang selalu ganti – ganti itu pasti dicuekin atau kalau nggak dikerjain.
Pernah waktu itu, Sarah, cewek satu sekolahan mereka yang sempat naksir Indra dan selalu mencoba mendekati cowok itu. Karena seringnya, Indra bahkan sampai bingung mengemukakan alasan apalagi untuk menolak ajakannya. Tapi, bukan Indra namanya kalau nggak punya akal. Mau tahu apa yang dia lakukan? Menerima ajakan itu, menentukan tempat janjian, dan…membayar seorang bencong untuk nemuin tuh cewek! Karuan aja gadis itu marah – marah. Yaaah.. tapi itulah yang namanya Indra. Paling – paling nyengir kalau diomelin. He..he.. emang enak dikerjain!

…………………..

Waktu berlalu begitu cepat. Dua tahun sudah hubungan Shin dan Reina berjalan dengan baik. Tak terasa ujian akhir sekolah semakin dekat. Shin mempersiapkan belajarnya dengan semangat. Bukannya karena apa – apa lho, tapi karena sang papa menjanjikan hadiah liburan ke tanah air mereka kalau nilai Shin memuaskan ketika lulus nanti!
“Ah, senangnya kalau Reina dan Indra juga ikut ke negeri sakura suatu saat nanti, kalau aku sudah bekerja. aku akan menunjukkan betapa indahnya Jepang saat musim gugur, di mana daun sakura berguguran dan betapa indahnya pemandangan musim semi, menunjukkan betapa indahnya Tokyo saat malam menjelang.” Pikir Shin melayang ke negeri sakura sana.
Manusia memang berencana, namun Tuhan jugalah yang menentukan. Semua cita – cita langsung pudar seketika ketika Reina menghilang selama dua dari sekolah. Shin mencoba menelpon, tapi nomor yang dihubunginya itu selalu tidak dapat dihubungi. Lalu ia mendatangi rumah gadis itu, tapi rumah itu kosong, tak ada siapapun. Shin gelisah. Kemana Reina? Kenapa tak ada kabar? Ada apakah gerangan?
Di minggu ketiga ketika kegelisahan dan tanda tanya Shin semakin memuncak, tiba – tiba sebuah kabar mengejutkannya, Indra dan se-antero sekolah. Reina muncul di sekolah dengan mengenakan kain lebar di kepalanya dan menutupi rambut panjangnya yang biasanya terurai dengan indah. Reina mengenakan jilbab!
Sebagian murid menyambut berita itu dengan baik dan senang, terutama anak rohis sekolah, tapi tidak bagi Shin. Dari kabar yang beredar, ternyata Reina baru kembali dari sebuah kota kecil di pinggiran Perancis, mengikuti ibunya yang sedang ada urusan pekerjaannya di sana selama dua minggu.
Meski belum mengerti dan mendengar langsung tentang apa yang telah terjadi dengan gadis manis itu, Shin tetap was – was dan cemas. Terlebih lagi karena Reina tak juga menemuinya di waktu istirahat hari itu, demikian juga saat istirahat siang.
Karena itu, akhirnya Shin memutuskan untuk langsung menemui Reina seusai sekolah sore itu. Shin berharap Reina sikap Reina tak akan berubah seperti cerita teman – temannya tadi pagi. Setidaknya walau ia tak akan berhasil membuat Reina kembali seperti semula (jilbabnya), tapi hubungan mereka tidak berakhir. Tapi, ternyata Shin keliru.
“Maaf Shin, kita nggak bisa nerusin hubungan ini.” jawab Reina ketika Shin menanyakan tentang perubahan sikapnya.
“Nggak Rei, aku nggak mau, I can’t.” Shin berusaha meyakinkan Reina.
“Harus, Shin.”
Shin menatap Reina dengan pandangan sedih. Hatinya terasa hancur berkeping – keping.
”Ok, aku nggak habis pikir, setelah sekian lama, setelah semua yang kita lalui, dan sekarang tiba – tiba kamu.. kamu berubah Rei. Please… jangan tinggalin aku Rei… I can’t live without you..”
“Shin.. Shin.. kamu nggak bisa hidup tanpa aku? Trus sebelum kamu kenal aku itu, berarti kamu bukan hidup dong..”. Reina tersenyum. Geli.
“Please Rei..”. Shin memandang Reina dengan tatapan memelas, tapi gadis yang dipandangnya itu langsung menunduk.
“Maaf, aku nggak bisa Shin.. kita sudah beda jalan.”
“What happened with you?”
“Nothing. Cuma.. kemarin aku baru pulang dari luar negeri, dan di sana aku ngeliat.. susah sekali untuk berislam apalagi wanita kayak aku, mereka dilarang berkerudung, ibadah.. dan aku di sini? Dari peristiwa itu aku berpikir.. di sini, di negeri ini orang Islam masih bebas, malah didukung.. tapi aku justru kok nggak ngejalanin ajaran islam.. “.
“Like that?” Shin menunjuk jilbab yang membalut kepala Reina. Reina mengangguk.
“Salah satunya.”
“Itu Cuma akan menyiksa kamu Rei, kamu nggak akan bebas lagi, terkekang, kamu cantik, kamu..”.
“Stop please Shin, justru inilah lambang kebebasan bagi wanita Islam, dengan pakaian seperti aku akan terbebas dari penilaian orang – orang yang selalu memandang wanita hanya dari fisiknya, dan justru ini melambangkan tentang kebebasan dalam berpakaian, bukankah itu yang disebut sebagai fashion?. Dan yang terpenting, pakaian ini justru akan membuat aku semakin aman. Shin.”.
“OK, Ok.... aku nggak akan melarangmu untuk itu Rei, tapi, please don’t leave me...”. suara Shin semakin serak.
Reina terdiam. Jauh di dasar hatinya sesungguhnya ia tak ingin menyakiti hati Shin, tapi ia sudah memilih jalan yang sudah lama sekali ia cari dan akhirnya baru sekarang hidayah itu bisa digenggamnya.
Ya, awalnya ketertarikan Reina hanyalah sebatas membaca buku. Tapi lama kelamaan hatinya semakin mengakui kebenaran islam. Beberapa kali dicobanya untuk berani menggenggam hidayah itu, apalagi setelah beberapa kali mengikuti diskusi di rohis sekolahnya. Tapi lagi – lagi ia goyah. Sekarang Ia tak akan kehilangan Cinta yang sebenarnya yang ia rengkuh saat ini. Cinta Allah. Ia tak akan mundur lagi.
“Aku tahu, tapi…”
“Tapi apa Rei? Japanese-jin dakara?” Shin trak sabar. Shin mencoba menyelami hati gadis itu.
“Nggak, sama sekali bukan.”
“Then?”
“Aku..aku… maaf, aku Cuma bisa bilang, semua ini adalah kesalahan, it’y my fault ! I.. ah, sudahlah Shin, kita akan tetap bersahabat, suatu saat kamu akan mengerti, dan satu lagi, kalau kita jodoh, pasti Allah akan berkehendak mempertemukan kita lagi,.. aku pulang dulu ya? Assalamu alaikum.”
Bayangan Reina terpantul oleh mentari senja yang perlahan akan meninggalkan bumi. Shin terenyuh. Hatinya diliputi oleh rasa ketidak percayaan dengan apa yang baru saja terjadi. Sebuah perpisahan yang singkat untuk mengakhiri pertemuan yang panjang. Sekian lama Reina mengisi setiap relung hati Shin, sekian lama menemani langkah Shin… sekarang akan … berpisah? Suatu hal yang tak pernah terbayang di benak Shin sama sekali. Shin rapuh.
“Itsumo aishiteru…!!”
Teriak Shin dengan suara yang hampir habis dan serak karena menahan sesak di dadanya. Suara itu menggema di sepanjang lorong sekolah. dari sudut matanya mengalir butir – butir bening satu demi satu. Namun, sosok yang semakin menjauh itu sedikitpun tak menoleh lagi ke belakang. Menjauh, menjah dan semakin menjauh, hingga akhirnya berbelok ditikungan dan menghilang dari pandangan.

……………………


Semua seperti di neraka, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Shin setelah Reina memutuskan hubungan mereka. Semangat empat lima-nya Indra tak mampu menghiburnya. Berkali – kali Indra memperkenalkannya dengan teman – teman perempuannya, dari yang Indonesia asli, Indonesia campuran, sampai Jepang mania! (maklum, Indra kan belum berubah!). Tapi sekalipun Shin tak pernah tertarik. Shin tak mampu mengusir bayangan Reina yang menurutnya kian hari semakin menjauh darinya. Reina memang tak pernah membedakan teman, Shin menyukai sifat yang seperti itu, tapi itulah yang dia lakukan terhadapnya sekarang!. Reina tak lagi mau pergi dengannya berdua ataupun plus Indra, Reina hanya menemui Shin jika hanya ada perlu, Reina… dan segudang lainnya yang membuat Shin terluka. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, Shin bergumam sendiri.
Hingga malam itu..
Shin dan Indra sedang dalam perjalanan pulang dari acara perpisahan sekolah malam itu. di tengah perjalanan, tiba – tiba Shin yang mengemudikan mobil memutar arah dengan cepat dan seperti tak terkendali. Indra tersentak kaget. Rasa ngantuk yang tadi menyerangnya tiba – tiba hilang melihat perubahan drastis pada wajah sobatnya.
“Mau kemana?”
Shin tak bergeming. Ia tetap memacu mobil sedan keluaran terbaru itu dengan kecepatan tinggi. Indra menarik napas panjang.
“Doko iku-no?” tanya Indra sekali lagi, kali ini dengan nada suara yang agak tinggi. Shin menoleh dengan tatapan dingin.
“Go to the hell. Ha..ha..” tawanya menggema dan hilang ditelan kegelapan malam.
Indra menatap Shin.
“Shin, nggak ada gunanya. Lu mau kemana? Lu nggak bisa terus kaya gini.”
“You tahu apa? Ha?!”
“Tau, gw tau yang elo rasain. Patah hati!”
“Lu nggak tau, lu nggak pernah ngerasain. You know that?!”
“Iya, tapi nggak begini caranya. Lu mabuk – mabukan, malasa – malasan, itu Cuma ngerugiin kamu sendiri. Perbuatan pengecut!”
“What?!”, Shin berpaling dari kemudinya. Matanya menatap Indra dengan tajam, “What you said?”
“Pengecut!” tantang Indra berani.
Shin semakin kesal. Dengan kesal ditambahnya kecepatan mobil itu.
Setelah puas menumpahkan kekesalannya. Akhirnya mobil itu memasuki halaman parkir sebuah diskotik. Indra tak bisa mencegah ketika cowok itu turun dengan membanting pintu
Indra sadar ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menunggu dan menemani Shin, agar tak terjadi apa – apa pada sobat karibnya itu. Indra sendiri sebenarnya cukup bingung. Indra tak tahan melihat kesedihan Shin.
Berkali – kali Indra mencoba mendatangi Reina agar berbaikan lagi dengan Shin, tapi ia tak berhasil. Sementara orang tua Shin seperti tak menyadari atau tak mau menyadari perubahan yang Shin alami. Sedangkan untuk memberitahu orang tuanya atau orang tua Shin?, Indra tak punya cukup keberanian. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk sahabat yang disayanginya itu. Indra hanya bisa berharap, waktu akan menghapus semua kepahitan ini dan mengembalikan sahabatnya seperti dulu lagi. Ia rindu masa – masa itu. Tapi, ternyata waktu tak seperti diharapkan Indra. Puncaknya Shin memutuskan untuk meninggalkannya alias kembali ke Jepang!
“Ikitai.” Ucapnya dengan wajah dingin.
“Shin, lo serius mau balik ke Jepang? how about me?”
Shin hanya mengangguk, lalu diam.
”Kalau ortu lu pindah, tapi lu kan bisa tinggal sama gw..aku nggak yau kemana kau harus nyari sahabat kayak lo Shin, koko-ni ite..” sekali lagi Indra menanyai Shin yang duduk di ruang tunggu pesawat yang akan membawanya kembali ke negeri sakura itu. Lima hari yang lalu Shin mengutarakan itu kepada Indra. Kebetulan juga tugas orang tuanya sudah selesai di Indonesia.
Shin tertunduk. Shin sebenarnya tak ingin pergi. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Shin tak akan bisa melupakan semua kenangannya bersama Indra. Tak ada yang bisa menggantikan Indra. Tapi, pedih ini, hati ini.. ah, apalagi yang harus ia lakukan selain meninggalkan kepedihan ini, kepiluan ini, selain meninggalkannya dan memendamnya dalam-dalam? Kenangan pahit itu telah menutup segala kenangan manisnya selama di negeri ini..
Shin semakin tertunduk. “Ya, ndra, I m so sorry, gw nggak akan ngelupain lu”. Ucap Shin lirih.
Indra terlihat pasrah mendengar keputusan itu, lalu, “ Sabishikunaru-yo”
“Aku juga.”balas Shin lirih.
“Ki-o-tsukete-ne”
“Ok, thanks. Ja mata-ne” Shin memeluk Indra dengan erat, lalu menyalami Ibu dan ayah Indra yang berdiri tak jauh dari mereka, lalu mengikuti orang tuanya meninggalkan ruang tunggu, menuju pesawat yang kan membawa mereka kembali ke tanah air. Membawa kepedihan di hati Shin. Dari Jakarta ke Jepang.

………bersambung ke bagian 7………

Senin, 21 Juni 2010

Part 5

TENTANG DIA

Siang ini sangat terik, maklum sudah mulai musim panas, eh, musim kemarau (emang di Jepang, pake ada musim panasnya?). Indra mengajak Shin untuk nonton bareng alias nomat. Tadinya Shin males banget pergi, gimana enggak males? Ngantrinya itu lho! nggak kuaaaat!. Tapi berhubung Inda ngebujuk Shin pake paket tiket dan snack gratis dan mohon - mohon segala, akhirnya Shin pergi juga ke twenty one yang tadi siang ditunjuk Indra. Dengan alasan harus menghadap guru dulu sepulang sekolah, Indra menyuruhnya pergi lebih dulu dan membeli tiket terlebih dulu.
Setibanya di sana, antrian masih sepi, jadi Shin memilih untuk segera duduk di sofa ruang tunggu yang sedikit terang sambil membaca komik detective Conan edisi terbitan terakhir yang dibawanya. Shin memang Conan maniak! Lihat aja di kamarnya penuh dengan koleksi komik Conan, CD Conan, dari yang bahasa Indonesia sampai yang bahasa Jepang asli! Baru beberapa halaman Shin membaca Conan-nya, Shin dikagetkan oleh sapaan seorang gadis yang berdiri di depannya. Reina!
“Sudah lama, Shin?”
Reina, gadis tinggi semampai berkulit putih itu berdiri menatap Shin yang tampak kebingungan. Rambut panjangnya yang sepinggang dan hitam kecoklatan yang berkilau itu kini terikat rapi dengan pita yang senada dengan warna bajunya . Sebuah tas mungil tergenggam di tangannya. Setelan baju senada dan rok panjang senada membuatnya semakin anggun.
“Shin? “. Sapa Reina.
O…o…
“Eh iya, aku baru datang, kamu dateng sama siapa? With whom? Your friend?” Shin berusaha menutupi sikapnya yang semakin salah tingkah.
“ I m alone, kan kata Indra kamu nyuruh aku dateng sendiri? Why?”
“Indra? Indra bilang seperti itu?”
“Iya, kenapa? kayaknya aku yang bingung deh, tapi kok malah kamu yang bingung.” Reina terlihat bingung dengan ekspresi Shin yang berubah.
“O.. No, it’s ok, nggak pa – pa, aku tinggal sebentar ya.. five minutes” Shin meninggalkan tempat duduk Reina beberapa meter setelah minta izin sebentar pada gadis itu. Shin segera meraih handphonnya dan menekan nomor yang sudah sangat ia hapal dengan terburu – buru. Siapa lagi kalau bukan… Indra.
“Halo…kenapa lagi sih Shin?” terdengar suara Indra seperti menahan tawa diseberang sana.
“Ndra, Do-iu imi?” Shin tak mengerti.
“Maksud apa? Harusnya lu makasih dong sama gw. say thank’s for me.”
“Makasih apa? For What? Nani?! Hahh?!”
“Duuuhh, jangan sewot dong! Abis gw gregetan liat lo, ya udah, gw bilang aja ke Reina kalo lu ngajak dia nonton hari ini. He…he…gw hebatkan?”
“Where are you?”
“At home.”
“Nani?!” Shin melirik jam mungil yang melingkar di tangannya. Sepuluh menit lagi film akan dimulai, sedangkan Indra? At Home?
“Shin.. Yah… Shin, lu kok jadi telmi sih? Ya jelas gw lagi di rumah, yang lu telpon ini kan nomer rumah.. Selamat nonton ya, have nive day..!! daaaaaagh..… he…he…”
Click!. Terdengar telepon di seberang sana ditutup dengan nada yang amat sangat senang. Kalau Indra ada di rumah, lalu bagai mana…Oh God!!! Betapa bodohnya ia.. Shin baru menyadari, lagi – lagi Indra mengerjainya!. dilayangkannya pandangan ke arah Reina yang duduk manis tak jauh darinya. Jujur, gadis itu telah menarik perhatian Shin sejak pertama kali melihatnya. Shin memang ingin sekali ngobrol dan mengenalnya, tapi tidak saat ini! tidak saat Indra tak ada. Entahlah, Shin bingung apakah ia harus mengucapkan terima kasih kepada Indra ataukah justru menghajarnya setelah ia tiba di rumah nanti, yang jelas Shin segera membeli tiket dan menghampiri Reina.
Di dalam bioskop Shin tak bisa menikmati Film yang ditayangkan sedikitpun. Pikirannya didominasi oleh bayangan Reina yang duduk tenang disampingnya menikmati Film. Shin mencoba menyelami hatinya dan mencari kata hati yang sebenarnya, hingga akhirnya ia menemukan kata, aku menyukainya, benar – benar menyukainya!. Tapi, seketika ragu menyergapnya. Bagaimana jika Reina tak menyukaiku? Bagaimana jika kuutarakan perasaanku justru ditolaknya? Perang pikiran berkecamuk di kepala Shin sampai tak terasa film telah selesai dan Shin sama sekali tak mengerti apa yang ditontonnya sodara - sodara!
“Ayo, Shin… mau mampir dulu nggak? Kayaknya di lantai dasar ada makanan yang enak deh! Kamu udah makan?” Reina mengajak Shin ketika menyadari Shin tak juga beranjak dari duduknya. (PeWe niyee..!).
“Eh, e.. Iya.. belum” jawab Shin gelagapan.
Shin mengikuti langkah Reina dengan langkah gemetar. Tiba – tiba sebuah ide gila berkelebat di benaknya. Ia akan menyatakan perasaannya ke Reina, harus!.
Gila lu Shin!
Nggak, gw nggak gila!Nggak! Gw nggak peduli!
Kalau ditolak?
Ah, masa Bodoh ah!
Pikiran –pikiran pro dan kontra di kepala Shin terus berperang. Shin dan Reina memasuki sebuah kafe mungil yang cukup bersih di basement bangunan itu. Selain bersama Reina, Shin juga pernah makan beberapa kali dengan Indra di kafe ini, malah menjadi kafe favorit mereka kalau lapar setelah nonton. Aroma aneka makanan langsung menyergap hidung. Shin memilih tempat duduk paling pojok. Reina mengikutinya. Setelah memesan makanan, otak Shin kembali berputar ke rencana yang terbetik di kepalanya tadi. Inilah saatnya Shin!
“Reina…I....” Shin memulai pembicaraan setelah dua jam di bioskop tadi hampir seluruhnya ia habiskan dengan melamun. Tapi lagi – lagi Kalimat Shin terputus. Shin nggak berani!.
“Ya ?” Reina menunggu kelanjutan kalimat Shin dengan penasaran. Selama beberapa kali bertemu dengan Shin, cowok itu selalu tak banyak bicara. Satu detik, lidah Shin masih kelu. dua detik, tiga detik…
“A…ada orang yang kamu.. sukai?”
Reina terdiam sejenak. Sedangkan Shin? Shin membayangkan bumi akan runtuh menimpanya.
“Ada.” Suara Reina membuat bumi benar – benar runtuh di kepala Shin.
Shin gelagapan. Hilang sudah kata – kata yang dari tadi disusunnya. Reina memang cantik, pintar dan terkenal di kalangan teman – temannya. Namun walau begitu, gadis itu sangat rendah hati. Pernah sekali Shin melihatnya tengah bercakap – cakap dengan seorang murid yang dianggap aneh oleh marid lain, sehingga tak ada yang mau mendekatinya. Tapi Reina tidak, ia selalu bergaul dengan siapa saja, karyawan sekolah sekalipun! jadi wajar saja lain dari pada yang lain, jadi.. wajar saja ia menyukai atau seseorang menyukainya.. kata hati Shin mencoba menahan sesak di dadanya.
“Who is he?”. Shin tak sabar. Shin memang patah hati, tapi setidaknya ia tahu siapa yang telah memikat hati gadis ini. Mungkinkah Indra? Bukankah Indra pernah menelpon dan janjian dengannya? Ataukah Alvin sang ketua Osis yang kerap menjadi partner kerjanya? Ataukah….
“Kok nanya? Emangnya kenapa? “
Shin menggeleng.
“I .. aku..”
Reina menggeleng. Ya, jelas menggeleng, orang belum dikasih tahu! Shin.. Shin…. Reina tersenyum dengan pertanyaan Shin. Ternyata gini ya, Shin kalau sudah panik. Error.
“Lho, terusannya?”
“Ah, nggak, Reina, setelah ini terserah kamu mau benci aku, nggak mau ketemu aku lagi, mau sebel , kesel sama aku atau gimana….”
“Lho emang kenapa Shin? Emangnya kamu punya penyakit menular ya? HIV, AIDS atau apa nih? Orang pengidap AIDS aja nggak boleh dijauhin kok, kok kamu malah dijauhin..”. Jawab Reina asal. Duh, orang lagi serius, ni anak kok jadi becanda.
“Bukan.”
“Trus apa? Kamu mau balik ke Jepang?”
“Bukan, karena… I like you ” Fffh, terucap juga akhirnya kata – kata itu dari mulut Shin. Ia tak bisa membayangkan merahnya mukanya saat mengucapkan kata – kata tadi, mungkin lebih merah daripada cabai!.
Reina masih diam setelah mendengar ucapan Shin.
“Rei, jawab Rei. Aku siap dibenci, aku siap di tolak, tell me…”
“Ya, jalani aja dulu.”
“Mean?”
Reina tak menjawab. Ia hanya mengangguk, tersipu.
“Lho… jadi?” Shin tak percaya dengan pendengarannya. Reina mengangguk meyakinkannya.
“Aku Cuma suka aja ngeliat kamu bingung.” Apa? Shin merasa bumi yang tadi runtuh dapat diangkatnya sendirian. Eh, nggak deng! dengan bantuan Indra. Indra, rasanya tak sabar ia menyelesaikan makannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sobat jailnya itu. Langit masih cerah memayungi bumi Jakarta, seindah langit di negeri sakura.

……………bersambung ke part 6…………………

Part 4

SEPENGGAL EPISODE LAMA

Dengan setengah berlari Indra menghampiri Shin yang masih duduk memandang tempat duduk taman beberapa meter dari lapangan bola sekolahnya. Sejak orang tuanya memindahkan Shin ke sekolah Indra waktu SMP dulu (sejak pindah dulu, waktu itu umur Shin 13 Tahun), setiap hari Indra selalu mengajak atau tepatnya memaksa Shin ikut latihan sejak mereka masih SMP dulu, hingga sekarang mereka SMA. Bahkan, Indra merekomendasikan Shin kepada ketua klub dan akhirnya sekarang berhasil memasukkannya jadi anggota resmi klub. Katanya sih, Shin sebenarnya permainan bola Shin cukup bagus, Cuma sayang.. nggak pernah diasah! (golok kali ye..pake diasah segala! He..he..). !
“Shin, ayo… let’s go!.”ujar Indra sambil memberi isyarat untuk segera bangun.
“Ok, one minute please.” Jawab Shin.
Mata Shin seperti tak bisa melepaskan pandangan dari sudut taman itu. Bukan tempat duduk itu yang menarik perhatiannya, melainkan sosok yang duduk dan sedang membaca buku di bangku taman itu. siapa lagi kalau bukan.. Reina !
Reina, gadis itu yang menarik perhatian Shin sejak awal mula ia masuk SMA . Tapi mereka tak pernah sekelas, sehingga Shin tak pernah berkesempatan mengenal gadis itu lebih jauh. Setiap sepulang sekolah, gadis itu selalu menghabiskan waktunya di taman itu. entah membaca, mengerjakan tugas, ataupun membuat dekorasi untuk mading sekolah bersama teman – temannya. Reina cukup tenar di sekolah ini. Seperti Indra, wajah oke, prestasi tokcer, Materi cukup, dan pimred majalah sekolah, dan bermacam – macam kriteria lainnya yang membuat gadis itu selalu memiliki nilai lebih daripada murid lainnya.
“What are looking for?” Indra ikut – ikutan melihat ke arah sudut taman itu. Shin langsung memalingkan wajahnya, pura – pura memandang ke sudut lain. Gawat, kalau Indra tahu Shin bisa di ledek habis – habisan!! Shin tahu betul sifat usil sobat yang baru beberapa bulan dikenalnya itu!
“Nothing”.
“O… Reina ya?” Indra bergumamam. Shin reflek menoleh. Wajahnya memerah menahan malu. Oo… gawat! Tuh, kan?
“Nani itten-no?”
“Reina.”
“Reina? Who is she? your girl?” Shin masih pura – pura tidak tahu dengan maksud Indra.
“Alaah, pura – pura telmi lu Shin, gw samber baru tau rasa lo… ngaku deh sama gw.” Indra melempar bola yang dipegangnya kepada Shin. Shin langsung menangkapnya sebelum bola itu mampir di keningnya, alias benjol!.
“Yang bener aja ndra, She is beautifull..kawaii.. atama-ga ii-ne, popolar, baik, ramah, like you..”
“And you?”
“Stop it please!”
“STOP please? tuh kan? So-nano? bener juga tebakan gw.” Indra mengerling jahil.
“Tebakan apa? apaan sih. Uso-bakkari!.” Shin menarik Indra menuju lapangan. Dari jauh sekali lagi ia memperhatikan sosok semampai itu beranjak dari duduknya ketika segerombolan cewek yang tak lain adalah teman se-gank Reina menghampiri dan menarik tangan gadis itu meninggalkan tempat itu. mungkin ke kantin sekolah, atau pulang.
Sejak hari itu perhatian Shin selalu tertuju ke taman itu. setiap latihan sepak bola, selalu ia sempatkan menoleh ke sudut itu. tapi, ia tak pernah punya keberanian menyapa, apalagi untuk mendekati sosok berambut hitam panjang itu.
Hingga suatu hari, entah sengaja atau tidak, bola yang di tentang Indra melesat ke taman itu. Entahlah, Indra yang biasanya selalu menendang dengan tepat walau jarak jauh sekalipun, tak pernah meleset, apalagi keluar dari lapangan. Shin memandangnya curiga ke arah Indra, takut – takut si biang jahil itu mengerjainya. Tapi lagi – lagi Indra hanya cuek dan Shin-lah yang kena batunya karena berada paling dekat dengan jarak taman dibandingkan teman – teman lain yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri, tapi itulah peraturannya yang berlaku kalau soal mengambil bola. Sebel, gerutu Shin dalam hati.
Shin segera bergegas menuju taman tempat bola iseng Indra menghilang. Langkahnya semakin tak teratur dan semakin tak karuan ketika taman serta bayangan Reina semakin dekat. Matanya menelusuri setiap sudut taman, seperti orang kebingungan. Berharap bola itu dapat ia temukan lebih cepat tanpa harus berlama – lama di sana, ia malu bertemu dengan Reina dalam keadaan muka memerah begini!. Tapi tampaknya bolapun berkompromi dengan Indra menjahilinya. Beberapa saat telah berlalu, tapi tak juga terlihat oleh Shin, sementara Reina mulai tampak memperhatikan gerak geriknya. (bukannya GR lho..!).
“Kamu Shin kan? Yang aslinya dari Jepang itu?” Sebuah suara halus membuatku terhenti sesaat. Shin terperangah. Reina mengenalnya?
Shin mengangguk pelan. Lalu kembali melanjutkan pencariannya.
“Can I help you?”
“Ng..ng..no, thank’s.” Tolak Shin terbata - bata. Ia tak ingin merepotkan Reina. Shin melanjutkan mencari di bawah pohon kecil beberapa meter darinya.
“Can I help you?” sekali lagi Reina menawarkan bantuan.
Shin menggeleng, lalu melanjutkan pencariannya kembali. Sementara itu, Reina hanya menggeleng – gelengkan kepala.
“Helloo.. Shin.. sampai kapan juga nggak akan ketemu, tuh! bolanya, nyangkut di pohon.”
Aktivitas Shin terhenti seketika. Shin melihat ke arah Reina yang sedang menunjuk ke atas pohon kecil di sampingnya. Shin sebal. O.. my God! Kenapa aku tak melihat dari tadi?, gerutu Shin dalam hati.
“O… thank you. “ Shin segera mengambil bola itu dengan sedikit melompat dan berlari sekencang – kencangnya menuju lapangan. Tak dihiraukannya tatapan heran Reina yang mengikuti langkahnya tak mengerti (heran sama muka Shin yang udah kaya kepiting rebus kali yee.. merahnya). Tapi Shin tak peduli. Yang ada dipikiran Shin sekarang hanya satu nama.. Indra…!!!! (bakalan ada perang saudara nih kayaknya! He.. he..).

……………………….

Tidak seperti biasanya yang selalu pulang dan pergi bersama bak anak kembar (lain ibu, beda bapak, lho?!), pagi ini terpaksa Shin berangkat tanpa Indra ke sekolah. Tadi saat ia menjemput Indra, sobat kentalnya itu masih bertapa di pulau kapuk alias tidur, dan katanya sih akan datang agak terlambat. Jadilah Shin bersolo karir, eh, berjalan kaki sendirian. He..he.. 
“Hi.. Shin, sendiri?”
Shin berhenti sesaat sebelum menoleh ke arah suara yang menyapanya pagi itu sesaat ia akan memasuki gerbang sekolah. Otak Shin langsung bekerja, Rasanya suara ini pernah terdengar di telinga Shin, Tapi di mana ya? Kapan Shin pernah mendengarnya ya?. Shin berpikir. O… my god, Reina!!
Jantung Shin terasa akan copot! Shin menoleh dengan agak gugup. Tampak di sampingnya Reina mensejajari langkahnya. Rambutnya yang panjangnya yang sedikit kecoklat - coklatan diikat dengan manisnya dengan jepitan berwarna kecoklatan. Persis seperti warna daun sakura yang berguguran ketika musim gugur. Manis sekali, pikir Shin. Pikirannya melayang ke negeri sakura sana. Dulu ia sering membantu ibunya mengumpulkan daun sakura kalau musim gugur tiba. Daun itu akan dijadikan hiasan kartu ucapan atau sebagai pelengkap hiasan dinding. Tapi itu dulu, sebelum ibunya sibuk dan ikut menegelola perusahan keluarga mereka. Sekarang, ibunya tak lagi punya waktu untuk itu.
Jantung Shin semakin berdegup kencang, apalagi ketika Reina terus mensejajari langkahnya.
“I..iya” ucap Shin gelagapan, dan akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Indra mana?” Tanya Reina.
“Indra.. Indra terlambat. Dia susah tidur tadi malam.” Shin terbata – bata.
“O… padahal semalam dia nelpon aku, He called me last night, katanya mau pinjam catatan, makanya aku disuruh datang pagi gini, this is!”. Reina menunjukkan sebuah buku yang tersampul rapi dengan kertas berwarna biru lembut yang dikeluarkannya dari dalam tas mungilnya, “Can u help me?”
Shin mengangguk. Reina menyerahkannya kepada Shin. Shin mengulurkan tangan menerima buku bersampul biru itu dengan perasaan tak menentu. Tak dihiraukannya lambaian tangan Reina yang menghilang dari balik pintu kelasnya. Pikiran Shin langsung melayang pada orang yang akan ia kasih buku itu. Ada dua prasangka yang berkelebat di benak Shin. Pertama, mungkinkah Reina suka sama Indra atau sebaliknya? Dan kedua, Shin ingin berteriak.. Indra!!! Uso-bakkari!! Sekali lagi Shin dikerjain!
Tepat lima menit sebelum bel, Indra datang dengan wajah rasa tak bersalah. Shin tak peduli, ia langsung menghampirinya. Tapi sebelum menemui Indra, Shin memastikan dulu wajahnya tak merah. Shin sendiri kadang tak habis pikir lho kalau lagi nonton iklan pemutih atau kosmetik apalah namanya, kenapa ya cewek Indonesia pada pengen punya muka or kulit yang putih? Padahal kalau menurut Shin, punya kulit putih tuh nggak selalu enak lho, banyak juga nggak enaknya… apalagi kalau lagi malu, ketahuan banget pipinya memerah! Indra cengar – cengir melihat ekspresi Shin. Indra tahu Shin sedang menahan ekspresi biar mukanya nggak memerah. Tuh kan, nggak salah lagi, pasti dia biang keroknya, pikir Shin kesal bercampur lega atas dugaan pertamanya yang mungkin akan meleset. Sebaliknya ia semakin bertambah yakin dengan dugaan ke-duanya!.
“What happened, Shin? Pagi yang cerah ya… hm…” Indra merentangkan tangannya seperti orang yang sangat menikmati udara pagi ini, kayak iklannya Jihan Fahira itu lho! (ngaco deh Shin). Ini dia nih salah satu sifat Indra yang Shin sebelin dari dulu, Jail!.
“Do iu- imi?”
”Apa? Nggak ngerti ah, Indonesia dong! Indonesia! Cintailah produk dalam negeri” Indra menirukan iklannya Deddy Mizwar itu. Shin semakin kesal.
“Ok.. Ok.. maksud kamu apa?”
“Maksud apa? O O… abis ada badai ya tadi” tuh kan… ihhhh! Pengen deh Shin sekali – kali nonjok sahabatnya itu.
“Eit, mau nonjok ya? Ayo, kejar…. Ayo..”. Indra berlari menuju pintu kelas.
Tuh kan? Awas ya, gw kejar lu sampe ke ujung dunia !. Shin bersiap mengejar. Se-isi kelas mulai heboh (kayak lagi ngedukung petinju jagoannya aja ya?) dengan tingkah Shin dan Indra yang mulai siap tempur. Tapi belum sampai langkah Shin di depan pintu, wajah Indra kembali muncul dengan cengiran khasnya dan tersenyum penuh kemenangan yang membuat Shin makin kesal. Shin bersiap menyerang, tapi Indra cuek aja!. Shin tambah kesal. Tapi beberapa detik kemudian.. O..o.. pantesan, orang di sampingnya ada Pak Sentot, guru pengajar Fisika yang paling killer di kelas mereka! Shin semakin geram. Selama pelajaran berlangsung mukanya ditekuk sedemikian rupa (emangnya lutut apa ya bisa di tekuk). Kesel banget! Sedangkan Indra? Nyengir… !!

…………Bersambung ke part 5………….

Sabtu, 19 Juni 2010

PART 3

HARI ISTIMEWA

Fajar mulai menyingsing. Mentari mulai secara perlahan mengintip dari kejauhan di ufuk timur kota Jakarta, untuk menggantikan rembulan yang kian memucat dan semakin menghilang adri peredarannya. Shin sudah berdiri di depan kamar Indra walupun dingin masih menggigit. Dirapatkannya Sweater rajutan tangan berwarna coklat yang membalut kulitnya yang putih. Shin segera mengetuk pintu di depannya perlahan.
Tok! Tok!
“Ndra, hello…”. Sahut Shin.
Tak ada sahutan. Apakah Indra masih tidur?, pikirnya sambil memutar kenop pintu perlahan. Pikiran jahil berkelebat dibenaknya. dilangkahkannya kaki perlahan. Shin ingat, Dulu Indra sering melakukan ini padanya. Menyelinap diam – diam, lalu menyiramnya sampai ia bangun, lalu.. kabur!. Shin segera bergegas memasuki kamar itu perlahan. Tujuannya adalah.. kamar mandi!.
Baru beberapa langkah Shin melangkahkan kaki, mendadak langkah Shin terhenti. Indra? Shin terpana memandang pemandangan di depannya. Pikiran jahil Shin hilang seketika, berganti wajah bingung. Apa yang dilakukan Indra?. Di depannya wajah Indra begitu teduh dan tenang. Indra berdiri, lalu membungkuk, lalu mencium lantai, dan mengulangi lagi. Entahlah, Shin tak mengerti apa yang dilakukan sahabatnya. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu sambil melihat – lihat deretan koleksi buku Indra yang tersusun rapi di kamar itu sampai suara Indra mengagetkannya.
“Shin…? Sudah lama?”
Shin berpaling. Di belakangnya Indra sedang menatap Shin. Shin buru buru meletakkan buku yang digennggamnya kembali ke rak.
Shin mengangguk. Indra tersenyum.
“Apa yang barusan?”. Tanya Shin, ingin tahu.
“Sholat”
“Shalat?”
“Ya, Shalat, aku sedang menghadap Allah”
“Who is Allah?”
“Allah is the god. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menciptakan langit dan bumi ini.”
Shin kelihatan bingung, “ Do-iu imi?”
“Ok, shitteru.. aku aku akan jelaskan.”
“Yang tadi aku lakukan adalah salah satu yang diwajibkan oleh agamaku. Islam.”
“Ha?! Aku nggak pernah tahu, apa itu ritual baru? You have new god? Islam? What happened?” Shin menatap Indra tak mengerti.
Indra tampak menyembunyikan ekspresinya atas pertanyaan itu. ia lalu memandang Shin dengan lembut, berharap sahabatnya itu akan mengerti apa – apa yang akan dikatakannya nanti. Ia lalu menarik napas panjang, mencoba menyusun kata – kata untuk menjelaskannya kepada Shin.
“Ya, itu sebenarnya bukan agama yang baru untukku, hanya saja selama ini aku nggak tau tentang keindahan agama itu, tentang kewajiban – kewajibannya, seperti Shalat..”
“Every day?”
“Every day”
“Merepotkan.”
“No.” Jawab Indra tenang. Kening Shin semakin berkerut.
“No?”.
“Yeah, aku nggak repot sama sekali kok, hm.. gini aja, kalau kamu dikasih sesuatu yang sangat berharga, apa yang akan kamu lakukan untuk membalas kebaikan itu?”
“Ya.. say thank’s. Semua juga tahu, anak kecil aja tau!”. jawab Shin menirukan sebuah iklan di tivi yang dulu kerap di dengarnya.“Trus apa hubungannya?” lanjut Shin sedikit jengkel dengan pertanyaan Indra.
“Begitu juga dengan Allah, sang Pencipta, Dia yang memberi kita hidup sekian puluh tahun, bahkan ada yang ratusan tahun, ngasih oksigen buat bernapas, dan hasil – hasil bumi untuk dimanfaatkan. Apalah artinya lima atau sepuluh menit, atau se-jam sekalipun yang kita gunakan untuk menyembahnya, salah satu ungkapan syukur kepada-Nya ya dengan shalat, kalau dibandingkan dengan apa yang diberikannya kepada kita, bayangin aja, napas, tubuh, dan semuanya kita dapet, masak kita nggak makasih? Kalo kamu mikirnya gitu, pasti nggak akan merasa repot.”
Shin terdiam. Kepalanya berusaha mencerna kata – kata yang keluar dari mulut Indra.
“Demo…”
“Ok, ya sudah, sore-wa ato-de haraca. Ok? Sekarang aku siap – siap dulu ya? Kamu udah dapet batiknya kan dari ibu?”
Shin mengangguk, lalu keluar dengan wajah bingung. Indra mengerti kebingungan sahabatnya itu. Dulu Shin memang tak pernah melihat hal ini. Ia akan menjelaskannya tentu, tapi bukan sekarang. Indra duduk sebentar di meja kerjanya. Sejak Shin datang, ada sesuatu yang mengganjal di kepala Indra. Ia heran dengan sikap Shin. Kenapa Shin seperti tak mengerti apa – apa dan seakan benar – benar baru mengetahui setiap lembar perubahan pada dirinya? padahal selama ini ia begitu rutin menuliskannya di dalam setiap suratnya? Ataukah surat itu tak pernah sampai di tangan Shin?.
…………………..

Shin baru selesai berganti pakaian, ketika Indra menghampirinya.
“Yoi dekita?”
Shin mengangguk, lalu meneliti dari ujung sepatu sampai rambut Indra, yang sempat membuat Indra salah tingkah. Setelan hitam putih dan jas tersampir di lengannya. Rambutnya tersisir rapi. Tak ada yang istimewa, kecuali wajahnya yang tampak bercahaya dan bersih itu Pakaian pengantin yang sederhana, itu pendapat Shin. Shin sendiri mengenakan setelan batik berwarna biru yang diberikan ibu Indra. Batik seragam yang dipakai oleh semua keluarga pengantin, katanya.
“WAOWW, nice!” Shin berdecak kagum dengan penampilan sahabatnya itu. Keduanya lalu beriringan menuju ruang makan untuk makan pagi.
Setelah sarapan, merekapun berangkat Bersama keluarga Indra menuju sebuah bangunan yang cukup besar yang di depannya sempat ia baca papan bertuliskan Masjid. Dengan ketidak mengertiannya, Shin ikut melangkahkan kakinya memasuki bangunan sederhana, yang namun terlihat megah itu.
Di dalam ruangan bercat putih bersih itu Shin dan Indra di sambut beberapa orang yang telah hadir yang akhirnya diperkenalkan Indra sebagai teman – temannya di lembaga dakwah kampusnya – entah apa itu, Shin tak mengerti—kepadanya. Shin lalu menatap garis pembatas seperti tirai yang melintang, membagi dua di tengah ruangan itu.
“ Itu hijab”, jawab Indra membaca kerutan kenng Shin.
“Nani?! Hijab? What’s that?” Shin makin bingung.
“Batasan yang memisahkan tempat duduk lagi – laki dan perempuan.”
Shin melongo. Acara pernikahan macam apa ini? Aneh! Shin tak habis pikir. Untunglah, tak lama kemudian iringan keluarga pengantin wanitapun tiba.
Shin memutarkan kepalanya tepat sesaat sebelum sosok pengantin yang membuatnya penasaran itu menghilang di balik pembatas atau hijab. Shin semakin tak mengerti, Apa lagi ini Indra?
Akhirnya rombongan pengantin wanita tiba. Shin memalingkan wajahnya untuk melihat wanita yang akan diperistri oleh sobatnya itu. Sekilas.. hanya sekilas, tapi ia bisa melihat sosok pengantin tadi. Seorang wanita sederhana yang mengenakan gaun putih sederhana yang longgar dan panjang menutupi seluruh tubuhnya yang semampai dan… jilbab putih lebar yang menutupi rambutnya!.
Serentak Rasa benci itu hadir kembali di hati Shin. Semakin tebal dan semakin terasa menutupi hatinya. Shin memandang Indra dengan tatapan semakin tak mengerti dan kesal, itukah calon istrimu Ndra? Bukankah Indra seharusnya tahu kalau ia sangat membenci kerudung itu? bukankah Indra tahu, kerudung itulah yang telah menggoreskan luka yang sedemikian dalam di hatinya? Luka yang masih meninggalkan bekas hingga saat ini? Lalu.. sekarang istri, eh calon istri Indra seorang gadis berkerudung!.
Sekali lagi Shin memalingkan kepalanya ke tempat pengantin wanita itu. Lalu… serentak Shin terperanjat. Gadis itu! Siapa gadis yang juga berkerudung yang di samping pengantin itu? Bukankah itu… Rei …Reina!?
Shin ingat, kemarin Indra pernah bilang, kalau calon istrinya adalah temannya Reina. Tapi, Shin tak pernah berpikir akan bertemu lagi dengan gadis itu di sini. Mengapa Indra tak memberitahunya bahwa Reina juga datang? Dada Shin langsung bergemuruh. Seketika kepahitan masa lalu langsung tergambar jelas di kepala Shin, masa lalu yang begitu pekat…
………bersambung ke Part 4………

Jumat, 18 Juni 2010

Part 2

WAKTU BISA MERUBAH SEGALANYA, SHIN..

Itu dulu, lima tahun yang lalu. Sekarang.. dalam usia dua puluh dua tahun Indra akan menikah di negerinya ini, Indonesia! Huu…huu…hu.. Dua puluh dua tahun men!!. Sulit terbayang di kepala Shin. Indra yang dulu menjadi kapten klub sepak bola, Indra yang terkenal dengan prince charming-nya di SMU mereka dulu, Indra yang memiliki otak encer, Indra yang menjadi kapten sepak bola, yang kerap kali mengalahkan Shin bertaruh dalam lomba mengumpulkan supporter di sekolah setiap kali klub sepak bola mereka akan bertanding (sebenernya sih kalau masalah tampang Shin nggak kalah, tapi Indra orangnya lebih berani, nekad!), Indra, tidak seperti Shin yang pernah patah hati. Shibui, atama-ga ii-ne, kawaii, benar – benar Perfect. Shin tak habis pikir, Apa yang dipikirkan sahabatnya itu? Shin hanya bisa bengong ketika lima hari lalu Indra menelphonnya di Osaka…
“Ndra, jodan daro?”. Shin menanyai Indra sekali lagi. Ia masih ragu dengan pendengarannya.
“No, I m serious. So, makanya aku memintamu datang ke Jakarta”. Aku? Kamu? Sejak kapan Indra ber-aku – kamu? Bukannya ber-elo-gue? What happened with you?, Shin jadi bingung ketika menyadari perubahan gaya bicara Indra. Ah, waktu kan bisa merubah seseorang , lagipula itu kan Cuma bahasa aja!, pikir Shin.
“Sore-o kiite ureshii. But.. You called me one week before your wedding?”. Tanya Shin masih dengan rasa tak percaya.
“I m sorry, friend”.
“How about our agreement?”
“Then… the bride?”
“Beautifull?”
“Where is she?” serbu Shin bertubi - tubi.
“Duh.. shin.. stop please... kamu sedang bertanya atau mengintrogasiku? Bingung nih!. One by one. Ok?”
“Ok.”
Sesaat kemudian Indra terdiam. Lalu..
“I m really sorry, prosesnya memang agak cepat dan aku nggak pernah lupa sama janji kita dulu, kalau kamu nikah, aku yang akan nyiapin pestanya, kalo aku nikah, kamu kan yang nyiapin pestanya?, so-nano?”
“Huu…. You called me too late, gimana bisa aku nyiapin pesta? Eh, aku bisa nyiapin pesta untuk kamu dalam waktu tiga hari? Three days Ndra! Aku harus ke Jakarta, trus sibuk ngurusin ini - itu, pesen ke sana - sini, in three days?”
Gila, Indra Ada-ada saja!
“Shin, aku hargai niat baikmu, thank’s very much.. but she is different.”
“Different? Nani-ga chigau-no?”
“Dia.. dia ingin pernikahannya sederhana aja kok, nggak neko - neko. Kamu mengerti kan?”
“No party?”
“Yup! No party. Cuma acara sederhana, ramah tamah aja, acara kecil – kecilan.. dan Cuma ngundang kerabat dekat aja kok”
Nani???!! Apa lagi ini Ndra?. Shin melongo. Mana ada pernikahan seperti itu?.
“Ndra, dari dulu kamu selalu punya kejutan, but I don’t like this...”
“I m sorry, my friend.”
“Aku penasaran seperti apa sih istrimu yang sok sederhana itu? how she look like?”
“Eit, Makanya.. penasaran kan? Udah cepetan aja dateng ke sini, biar kenalan, ok?”
“Ja mata-ne.” Shin meletakkan telepon dengan sedikit kesal. Huu…Indra. Ada – ada saja tuh anak, pikir Shin. Tapi… Indra berhasil juga membuat Shin penasaran, seperti apa sih Indra sekarang? Dan seperti apa calon istrinya Indra itu? Apakah secantik Clara yang dulu sering ia ceritakan ketika Shin baru kembali ke Osaka? Atau secantik Reina yang sempat membuat Shin seperti orang gila? Atau Maya yang manis dan pintar? atau nama – nama lainnya yang sempat mampir di telinga Shin dulu?
“Shin..!! “ sebuah suara bariton yang dulu akrab di telinganya mengagetkan sosok berwajah Jepang itu. Shin mencari sosok yang memanggilnya. Lalu lalang orang yang lewat di depannya membuat Shin kesulitan mencari asal suara itu. Tapi kemudian matanya tak berkedip menatap sosok didepannya. Indra!.
Seingat Shin, dulu waktu SMA Indra adalah orang yang paling susah diatur, apalagi yang namanya soal pakaian dan rambut! Seringkali Shin memarahi Indra. Pernah dulu, Indra datang ke pesta ulang tahun Shin dengan jeans kumalnya, trus rambutnya dicat nggak karuan?. Tapi sekarang yang di hadapannya? Oh, no!, bukan lagi Indra yang seperti itu. Tapi, Indra dengan setelan kemeja rapi, rambutnya yang dulu sering diwarnai kini tampak hitam, tampak jauh lebih dewasa !!. Wow!, Shin berdecak kagum melihat penampilan Indra. Tapi kenapa Indra sendiri ya ? mana calon istrinya?, pikir Shin.
Shin segera menghampirinya.
“Genki data*? Sudah lama?”
“ Hm… Genki, belum.” Mata Shin kembali mencari – cari sosok yang membuatnya penasaran. Hati Shin bertanya – Tanya, who is she, Ndra?
“ Hei..mencari calon istriku?”
Hm…malu deh ketahuan. Shin mengangguk.
“He eh! Where is she?”
“Tuh kan kamu penasaran, sabar dong Shin… tomorrow.”
“Besok? Besok kan pernikahaanmu? Saat pernikahanmu?”
Indra mengangguk.
“Good!” Shin sebal. Dari dulu Indra memang selalu penuh kejutan untuknya, tapi ia tak menyukai yang ini,” What is her name?".
“Putri Maharani, asli Sunda, sundanese.”
Sundanese, Shin masih ingat dengan kata-kata itu. Sunda adalah salah satu nama suku di Indonesia. Dulu Shin juga belajar sejarah Indonesia waktu SMA lho! (Walaupun Japanese, nilai sejarah Indonesia nggak pernah kurang dari delapan ! so smart!).
“Beautifull?”
“Kamu ini.. selalu saja, nggak pernah berubah, ga boleh liat yang cantik dikit aja. Ayo…!” Indra menyeret tas Shin yang ada di depannya. Shin mengikutinya.
“Ok, sekarang kita mau kemana dulu nih? Ke kafe tempat kita nongkrong dulu waktu SMA? Atau mau ke kafe milik teman papa? Nih, alamatnya dari papa, nggak jauh kok dari sini” tanya Shin.
Indra memandang Shin sesaat, lalu menggeleng. “Tidak, kita langsung pulang aja, ibu, niniek, datuak, udah nungguin kita di rumah, ok?.”
“Niniek? Datuak?”. Shin melongo.
“My grandfather and grandmother.”
“O…Ok deh kapten..!”
Shin mengikuti langkah Indra yang melangkah ke tempat parkir dengan tak banyak bicara. Tapi diam – diam Shin menyimpan pertanyaan atas perubahan dalam raut wajah sahabatnya ketika menjawab pertanyaannya yang kedua terakhir tadi. Ada yang berbeda yang terasa di hati Shin pada Indra. Tapi entah apa, Shin belum mampu menyelami arti perubahan itu.
Dalam perjalanan pulang, mata Shin lebih banyak mengamati perubahan kota yang sudah sudah lima tahun ditinggalkannya ini. Macet yang tak pernah habis- habisnya membuatnya puas memperhatikan setiap sudut jalan yang dilewatinya. Matanya terus memperhatikan anak – anak jalanan yang semakin ramai menghiasi ibukota Jakarta. Di kotanya, Osaka, di negeri sakura sana, ia tak pernah melihat pemandangan seperti ini.
Ada ibu – ibu yang berjejer dengan anak – anak balitanya. Di depan mereka terdapat tempat dari botol aqua gelas bekas yang berisi beberapa keping uang receh. Ada lagi, bapak – bapak dengan kaki yang cacat, Dua orang anak kecil yang dekil sedang memainkan alat yang terbuat dari botol yang diisi dengan pasir mendekati jendela tempat duduk Shin. Shin memperhatikan wajah anak itu lebih seksama. Ya ampun, umur anak - anak itu kira – kira masih lima atau enam tahunan!.
“Kasihan, kasihan sekali..” gumam Shin lirih.
“Ya, dulu keadaannya masih belum separah ini, semakin lama semakin banyak yang datang ke ibu kota, tergiur dengan keindahan dan kesenangan yang hanya mereka lihat di tivi – tivi, padahal keadaannya nggak sesuai dengan dengan kenyataan yang sebenarnya. Penuh kekerasan dan persaingan. Ya, seperti inilah jadinya...”
“Where is their parent?”
“Orang tua mereka? Ada yang udah nggak punya orang tua, tapi ada yang masih punya. Tapi.. ya keadaan mereka sangat memprihatinkan dan kadang yang maksa anaknya untuk ngamen untuk mencukupi biaya hidup sehari – hari.”
“The government?”
“Ada usaha yang dilakukan pemerintah walaupun masih minim sekali, seperti pembuatan panti sosial dan tempat penampungan, di sana mereka diajarkan keterampilan.. tapi hanya sebagian kecil aja Shin yang betah di sana dan yang lainnya kabur..”
“Why?” Shin heran.
Indra mengangkat bahu, “Yaaa.. nggak tau, ada yang karena peraturannya yang mungkin ya menurut mereka agak ketat, ya.. ada juga karena nggak betah gara – gara di sana mereka harus bekerja, ya kalau di sini kan tinggal tadahkan tangan aja, tanpa harus kerja.”
“Berapa penghasilan mereka per hari?”
Lagi – lagi Indra mengangkat bahu, “Nggak tau juga, sebenarnya mereka bisa dapat banyak kalau mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, tapi di sini kebanyakan mereka punya bos- boa atau genk-genk lagi, sebagian besar, bahkan ada yang harus menyetorkan semua uang yang mereka dapatkan.”
Percakapan meraka terhenti ketika seorang pengamen mengetuk kaca di samping Shin.
Indra memberikan selembar uang kepada Shin untuk diberikan kepada pengamen cilik yang ada tepat di samping jendela tempat Shin duduk. Shin-pun buru - buru ikut mengeluarkan selembar uang, lalu memberikan uangnya dan Indra kepada kedua pengamen cilik itu sebelum mobil bergerak meninggalkan kemacetan sudut ibu kota yang penuh derita itu. Hati Shin miris. Mendung mulai menyelimuti ibukota.

………………….

Di rumah Indra suasana sedang ramai saat Indra dan Shin tiba. Hal ini karena kedatangan keluarga dari ayah Indra dari Sawah Lunto, kampung halaman kakek Indra dari pihak ayahnya. Sebenarnya sih yang menginap di rumah Indra cuma beberapa orang saja, yaitu nenek, kakek, etek Mia dan uni Ade, sepupunya Indra yang orangnya super ceriwisnya kayak Ulfa Dwiyanti itu. Selebihnya sejak sore tadi sudah berangkat ke rumah dari keluarga ibunya, yang tak jauh dari sana menginap di sana. Tapi karena uni Ade tuh orangnya nggak bisa diam, Jadilah suasana menjelang makan malam, di ruang tengah itu ramai oleh celoteh – celoteh dalam bahasa yang cukup asing di telinga Shin. Bahasa Padang, yang membuat Shin melongo.
“ Ayolah Shin…tambah lagi.” Ujar bu Nur, ibu Indra kepada Shin.
“Iyo, makanlah, iko karipik yang niniek bawa dari kampuang, babuek surang, indak baboli do, lamak kan?” nenek Indra yang datang dari Padang menyodorkan seplastik kerupuk sanjai, keripik asli padang, kepada Shin.
Shin melongo. Nggak ngerti!.
“Maksud amak, ini keripik yang di bawanya dari kampung, dibikin sendiri, nggak beli, oishii?”. Terjemah ibu Nur ketika melihat kening Shin berkerut.
“Oh, oishii, eh, enak nek, tapi mungkin buat nanti aja setelah makan, sekarang Shin sudah kenyang, nanti takut nggak kuat lagi makan nasi nya” Jawab Shin. Tapi, nenek Indra yang sudah cukup lanjut usia itu tampaknya tak mengerti dengan ucapan Shin. Ia masih saja menyodorkan kripik itu kepada Shin.
“Lamak bu, tapi keceknyo untuak beko sajo, kini ko alah kanyang, takuik indak bisa makan nasi beko,” bu Nur menerjemahkannya dalam bahasa minang, barulah nenek Indra yang berumur hampir seabad itu mesem – mesem. Mengerti.
“Indra mana bu?” tanya Shin.
“Indra mungkin masih shalat Isya, mungkin sebentar lagi.”
Apa?? Sholat? Isya? Apa itu? Sepertinya pernah ia dengar dan baca waktu SMU dulu, tapi dimana? Ah, sudahlah, mungkin sebuah ritual sebelum pernikahannya. Pikir Shin. cuek.
“Bagaimana kabar orang tuamu? “
“Baik bu, sekarang papa dan mama sekarang sedang sibuk mengurusi perusahaan, biasa, Desember, end of the year...”
“O… syukurlah.”
“Urang gaek Shin tingga di ma? Asli ma?”. Uni Ade, , sepupu Indra, yang kebetulan sedang membawakan air minum ikut nimbrung. Uni Ade emang suka asal nyambung dan iseng orangnya. Jadi kalau dulu Indra pulang ke Padang, trus ketemu Uni Ade, pasti klop alias cocok. Cocok isengnya!. Shin memandang bu Nur. Minta ditranslate!.
“Katanya orang tuamu tinggal di mana? Dokkara kita-no?”
“O.. di Osaka, Jepang, dulu saya sempat tinggal lima tahun di sini..”. jawab Shin.
Uni Ade mengangguk – angguk.
“Oh.. aye kirain orang betawi juga, jadi aye tanyain pake bahasa padang, he .. he..”. ujar uni Ade sekarang dengan asal logat betawi, lalu ngeloyor kembali ke ruang makan, meninggalkan Shin, bu Nur, dan etek Mia, adik ibu Indra, yang masih melongo. Apa hubungannya betawi sama padang? Emang kalau betawi bisa ngerti bahasa Padang?. Asal deh..!.
“Bu, boleh saya bertanya?”.Tanya Shin.
“Ya…?”
“Kok Indra mau nikah secepat ini? Umurnya kan masih dua puluh dua.. then..”
“Then, how about his career?”. Sambung bu Nur, membaca pikiran Shin. Shin mengangguk.
“Kenapa Shin? Khawatir kalo kamu nikah sekarang, khawatir akan menghambat karirmu? Masih terlalu muda?”
Lagi - lagi Shin mengangguk.
“Shin, nggak ada istilah terlalu muda ataupun terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Kalau seseorang memang udah mampu untuk nikah, maka alangkah mulianya kalau ia menggenapkan diennya, yaitu dengan menikah.. yah, emang sih gajinya Indra nggak begitu tinggi, tapi Insya Allah.. untuk rizki itu urusan Allah dan Allah telah mengatur dengan seadil – adilnya untuk hamba-hamba-Nya.. yang penting usaha.. dimana ada usaha, disitu pasti ada jalan.”
Dien? Insya Allah? Apalagi itu? Allah, siapa? Kata- kata yang keluar dari mulut ibu Indra berterbangan di kepala Shin.
Tapi, hal itu hanya berlangsung beberapa detik, karena Indra muncul dan bergabung untuk makan malam. Sejenak hal itu terlupakan.
Seusai makan malam itu, Shin tak begitu banyak bertanya kepada Indra. Karena kata – kata yang tadi diucapkan oleh ibu Indra kembali melayang – layang di kepalanya. Ia kembali memikirkan kata – kata yang diucapkan bu Nur tadi, tentang pernikahan, Pencipta, termasuk tentang kain lebar yang menutupi rambut ibu separuh baya yang belum sempat ditanyakannya itu. Serentak kebencian semerbak di hati Shin. Bukan, bukan ibu Indra yang dibencinya, tapi kain lebar yang menutupi rambut wanita itu, Jilbab!. Ada kebencian yang begitu mendalam tiba – tiba hadir di hati Shin. Shin benci melihat jilbab itu!. Gara – gara kain itulah hatinya terluka, Shin benci, benci sekali!. Semuanya seakan berebut tempat di kepala Shin.
“Shin…” suara Indra mengagetkan Shin.
“Genki?” tanya Indra dengan bingung melihat Shin yang masih diam. Shin tersentak, “Eh, genki”.
“Kalau kamu punya masalah, kamu bisa cerita ke aku atau mama, jangan kebiasaan dipendam. Tell me about your problem.” Ujar Indra, menepuk pundak Shin.
“Shimpai shinai-de, I m fine. Aku mau istirahat dulu ya, nemui. good night. Malam bu, nek, kakek, sister. ” ucap Shin pelan.
“Sister? Emang ada yang namanya sister di sini?” Uni Ade nggak nyambung.
“Huss!! Sister itu dari bahasa Inggris, Indonesianya saudara perempuan. Makanya belajar dong De, biar nggak sekolah juga, biar tau”. Bu Nur menyahuti. Indra dan Shin hanya geleng – geleng kepala. Uni.. uni..
“Ok, Shin. sweet dreams.”
Shin mengangguk, lalu meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Shin tahu, Indra pasti akan membantunya jika ada masalah, tapi masalahnya justru ia sendiri bingung bagaimana mengungkapkannya ke Indra. Begitu banyak kata – kata yang memenuhi otaknya, begitu banyak hal yang tak dimengertinya, begitu perih luka hatinya, begitu.. ah, semuanya begitu membingungkan, dan cepat berubah!
Sementara itu, dari ruang makan Indra memandangi punggung sahabatnya yang menghilang dari kejauhan itu. Indra tahu ada sesuatu yang disembunyikan Shin darinya. Tapi ia juga tak bisa memaksa Shin. Indra tahu pasti sifat tertutup sahabatnya itu. Tapi, terus terang hati Indra masih was-was. Apakah Shin sudah menyadari semua perubahan yang terjadi pada dirinya? Bagaimana cara memberitahukannya kepada Shin? Semua perubahan ini? Bagaimana jika Shin benar – benar akan meninggalkannya nanti?
“Ya Allah,Seaindainya ia memang punya masalah yang tak bisa diceritakan, berikanlah petunjukmu dan penyelesaian yang terbaik untuknya, dan juga berikanlah kemudahan untuk dalam menjelaskan semua ini nanti, berikanlah petunjuk dan kefahaman, dan hidayah-Mu ya Allah kepada Shin, dan kelapangan dada dan kesabaran jika penjelasan hamba nanti berakibat buruk baginya dan tidak sesuai dengan apa yang hamba harapkan ya Allah..” doa Indra dalam hati.

………bersambung ke part 3………..
yg baca tulis comment y,thq

Part 1

SEPENGGAL KENANGAN

MASA KECIL

Hiruk pikuk bandara Sukarno – Hatta seakan tak akan ada habis – habisnya. Para lelaki, wanita, anak – anak, bahkan sampai orang tua jompo pun ikut meramaikan hilir – mudik dan kesibukan di bandara nomor satu di Indonesia itu. Ada yang celingak – celinguk seperti sedang mencari atau menunggu seseorang, bersalaman, berpelukan, dengan celoteh – celoteh khas mereka masing – masing. Diantara kerumunan itu, tampaklah seorang laki – laki berperawakan sedang, berbadan tegap, berkulit putih, dengan mata yang sedikit sipit, dan berambut kecoklatan yang juga ikut menoleh ke kanan – kirinya. Matanya yang sipit menjadi semakin terlihat sipit karenanya. Dia adalah Shin.

Shin. Cowok asli negeri sakura itu kali ini untuk ke dua kalinya menginjakkan kakinya kembali di bandara Sukarno – Hatta sejak pindah kembali ke tanah airnya, Jepang lima tahun yang lalu. Kalau bukan karena undangan sahabat dekatnya, Indra, mungkin Shin tak akan bisa sampai ke sini lagi. masih terngiang di kepala Shin suara sang mama saat ia mengatakan akan berkunjung ke Indonesia dua hari yang lalu yang begitu keras menentang kepergiannya ini.

Shin maklum, “Ya.. mungkin papa dan mama tak ingin aku mengingat masa lalu yang penuh kepahitan waktu aku tinggal di kota ini dulu, atau khawatir luka lama waktu SMA itu akan terbuka kembali, dan segudang alasan lainnya.” Shin menghibur diri.

Tapi beruntunglah! Shin berhasil membujuk papanya untuk bisa menghadiri acara surprise yang disiapkan Indra untuknya. Indra. Ya, Indra adalah teman sepermainan, sekaligus teman terdekat Shin waktu SMA, yaitu selama orang tua Shin pindah tugas ke Indonesia dulu, sepuluh tahun yang lalu, tepatnya ketika Shin menginjak bangku kelas dua SMP.

Tak banyak yang Shin ingat tentang masa lalunya dan seluk – beluk kota ini. Mungkin karena kenangan – kenangan manis itu telah tertutup oleh kepahitan yang dialaminya. Hanya kepingan – kepingan kenangan dari surat – surat Indra yang hanya sering kali berkelebat di benak Shin dan menghiasi mimpi – mimpi Shin. Hanya dua kali surat Indra diterimanya. Dalam lembar surat itu Indra selalu mengingatkan Shin tentang kenangan mereka ketika ia tinggal untuk lima tahun di negeri ini, terutama ketika Shin baru pindah ke Indonesia.

Waktu itu.. umur Shin baru tiga belas tahun, umur di mana seharusnya Shin puas bermain dengan teman – temannya di negeri sakura sana, berlomba – lomba mempersiapkan diri untuk mengumpulkan nilai-nilai terbaik untuk bekal masuk ke SMA favorit masing – masing, melewatkan liburan musim panas bersama teman - teman sekolah, dan segudang kegiatan mengasyikkan lainnya. Tapi, Shin malah terpaksa harus memilih untuk mengikuti orang tuanya pindah dari negeri sakura itu ke negeri asing ini, Indonesia.

Sebenarnya perumahan yang mereka tempati itu cukup ramai. Ramai dengan kesibukan mereka masing – masing. Tapi, tetap terasa sangat sepi dan asing. Tak ada teman bermain, tak ada yang bisa diajak bicara. Oh! Sungguh, Shin merasakan kerinduan yang amat sangat dengan rumah lamanya, dengan teman sepermainannya.

Sebetulnya – kata ibunya- beberapa kilo dari rumah mereka ada tempat perbelanjaan besar seperti di Jepang, yang disebut mall. Shin ingin sekali kesana, setidaknya mencari toko buku yang menjual kamus Jepang – Indonesia atau mainan impor terbaru dari negerinya. Setidaknya main games akan menghilangkan kebosanannya. Tapi lagi – lagi Shin berpikir. Teman saja ia belum punya untuk diajak bermain kesana, bagaimana mungkin ia hendak kesana? Naik mobil umum? Dengan uang yang tak ia mengerti? Satu Yen berapa rupiah ? Dan satu lagi problem yang yang dihadapi Shin, ia belum bisa berbicara dengan bahasa Indonesia!. Sementara orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing – masing. Shin menarik napas panjang, ia mulai berandai –andai, “Ah, seandainya saja papa dan mama datang ketika sekolah sudah mulai dan bukan pada waktu libur..”

Dalam keadaan bingung akhirnya Shin memutuskan untuk berkeliling di sekitar komplek saja dengan sepeda yang dua hari lalu baru dibelikan ayahnya. Sebentar – sebentar sepeda itu melaju dengan kencang, dan melambat jika ada hal – hal yang menarik perhatiannya.

Beberapa menit kemudian Shin melewati pertigaan jalan yang ia tidak tahu akan berujung kemana. Kondisi jalanan itu memang cukup sepi, karena mungkin orang – orang sedang sibuk bekerja. Hanya beberapa ibu – ibu setengah baya yaang tampak asyik mengerumuni sayur – sayuran di sebuah gerobak. Sesekali tawa mereka terdengar riuh.

Tak jauh dari tempat para wanita itu mengerubung, terdapat taman bermain. Beberapa anak – anak kecil dan anak seusianya tampak sedang asyik bermain. Beberapa anak perempuan yang yang ia taksir berumur sekitar enam tahunan tampak sedang sibuk dengan rumah barbie yang ada di tengah lapangan itu, sedangkan anak – anak lelaki sibuk dengan mobil – mobilan mereka.

Di sisi sebelah kanan taman itu terdapat lapangan bola. Di sanalah beberapa tampak anak seusianya sedang bermain bola. Shin menatap mereka sesaat, lalu memutar sepedanya dan melanjutkan acara jalan – jalannya kembali.

Setelah cukup lelah berkeliling, Shin akhirnya memutuskan untuk pulang. Dibelokkannya sepeda itu dengan asal dan dengan tetap memandang rumah – rumah yang dilewatinya dengan bosan. Sampai….

“BRAKK!!!”

Bunyi benturan dari arah samping jalan yang berlawanan dengannya membuatnya menoleh dan tersadar dengan posisi jalannya yang terlalu ke kanan. Sementara itu, tak jau dari sebelahnya, seorang anak tampak bersusah payah membangunkan sepedanya yang menabrak trotoar jalan. Pastilah anak itu menyingkir terlalu ke kanan karena menghindari menabrakku, pikir Shin dengan rasa bersalah.

Shin bingung. Ia memutuskan untuk turun dari sepedanya, menyandarkan sepeda itu dan berniat membantu, namun anak itu ternyata sudah berhasil bangkit dan menaiki sepedanya kembali. Hanya minta maaf yang terpikir oleh Shin. Shin bingung. But, how?

Shimpai shinai-de, Genki-dayo**.” Ucap sosok itu.

Kebingungan Shin bertambah lagi ketika sosok berkulit putih dan berbadan tegap itu mengucapkan kata – kata dalam bahasa Jepang kepadanya, meski terbata – bata, namun ia mengerti. Itu adalah kata dalam bahasa Jepang pertama yang ia dengar dari orang selain orang tuanya sejak pindah ke sini.

Namae nante iu-no?” sambung sosok itu.

“Aoshima, Shin Aoshima.” Jawab Shin pendek.

Sosok di depannya itu mengulurkan tangannya, dan berkata,“Indra.” Ucapnya, Shin segera menyambut uluran tangan itu dengan agak canggung. Mereka berdua lalu kembali mengyuh sepeda masing – masing, tapi kali ini dengan amat pelan.

Dokkara kita-no?”

“Achi.” Shin menunjuk rumah bercat putih persis di ujung jalan di depan mereka berdiri.

Tanoshiku sasete ageru.” Ucap Indra sebelum berbelok menggiring sepedanya dan masuk ke rumah yang hanya berjarak dua rumah dari rumah yang tadi ditunjuk Shin.

Sejak itu Indra sering main ke rumah Shin, demikian juga sebaliknya. Indra menemani Shin kursus intensif bahasa Indonesia, sedangkan Shin mengajari Indra begitu banyak suku kata Jepang baru, mengajarinya membaca komik Detective Conan yang sangat digemarinya dalam versi aslinya, menulis huruf kanji, tentang budaya Jepang, game – game baru, demikian juga sebaliknya, Indra mengajari Shin bahasa Indonesia dengan cepat, menyebut huruf el (L) dengan baik (tau kan Shin cadel el?), Sehingga dalam tiga minggu saja Shin langsung bisa bicara bahasa Indonesia dengan lumayan baik, walau masih terbata – bata..! Ajaib kan? Karena itu ketika masuk sekolah Shin tak begitu kesulitan lagi dalam berkomunikasi, dan kalaupun agak kesulitan Indra akan membantunya. Sedangkan dalam belajar (terutama pelajaran bahasa Indonesia), Indra selalu mengajari Shin di rumah seusai latihan bola, olah raga favorit Indra. Karena itu jugalah akhirnya orang tua Shin memutuskan untuk memindahkan Shin ke yang sama dengan Indra.

Dua tahun kemudian…

Tak terasa dua tahun telah berlalu, artinya sekarang mereka sudah duduk di bangku SMA dan menjadi ABG (Anak Baru Gede). Persahabatan merekapun semakin erat dari hari ke hari, walaupun seringkali banyak yang mempertanyakan tentang persahabatan mereka yang begitu akrab itu. bagaimana tidak? Meski seusia dan tumbuh seiring - sejalan, tapi Indra tidak seperti Shin. Indra anak yang supel, sehingga bisa bergaul dengan siapa saja, kenalan dengan siapa saja, entah itu di sekolah, rumah, atau di mall sekalipun. Prestasinya yang cemerlang dalam belajar, maupun olah raga membuatnya lebih menonjol dari murid lainnya. Satu lagi yang disukai Shin darinya, Indra selalu bicara terbuka, apa adanya, kadang kepede-an, atau bahkan terkadang terlalu blak – blakan. Tidak seperti Shin yang lebih memilih tak banyak bicara dan lebih suka memendam masalahnya sendiri. Shin tidak begitu suka dengan keramaian, kecuali Indra yang mengajaknya. Shin lebih suka membaca buku. Dan inilah yang membuat persahabatan mereka bertambah erat, berebut nilai tertinggi!.

Mungkin karena sikapnya yang pede itu juga Indra masih bisa berbicara sedikit dalam bahasa Jepang. Tapi bukan berarti Indra juga keturunan Jepang lho!.

Ayah Indra asli Sawah Lunto, sebuah kota kecil di Sumatera bagian barat, sedangkan ibunya betawi asli. Konon katanya ketika ayahnya Indra melamar, pihak dari ibunya Indra langsung diberi syarat. Kalau mau nikahin anak gw, lu kudu tinggal di sini, kaga’ boleh di jakarte,kagak boleh bawa anak gw ke Padang!, begitu kali ya bahasa kasarnya. Ya, jelas aja pihak ayahnya Indra juga menentang.. Untungnya, keluarga ayahnya Indra orangnya udah nggak terlalu terikat banget sama yang namanya adat sana dan agak fleksibel, jadi masih bisa dilobi (kayak deadlock sidang aza ada lobi-lobi.. J).

Akhirnya setelah lobi- melobi, keluarlah hasilnya, yaitu wajib lapor, eh, wajib pulkam (pulang kampung) setahun sekali!. Kalau tahun ini lebaran di Jakarta, tahun besok harus di padang. Jadilah Indra bisa sedikit bahasa minang juga. Nah, kalau bahasa Jepangnya itu, dari Shin tahu dari ibunya Indra, kalau ternyata keluarga itu sempat tinggal tiga tahun di Jepang, waktu ayahnya Indra ditugaskan di sana (waktu itu Indra masih SD). Tapi, emang dasarnya Indra yang suka ceplas – ceplos dan kadang nggak peduli pakai bahasa apa, jadinya tuh bahasa nempel terus, padahal udah lebih dari lima tahun lho! ………bersambung ke part 2………………